
Menanam Harapan Pangan di Lahan Perkebunan
Repost - timesindonesia.co.id
Kuntoro Boga Andri Kepala BRMP Perkebunan, Kementan
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Krisis pangan global kini menjadi ancaman nyata. Laporan FAO menunjukkan sekitar 735 juta orang di dunia menderita kelaparan pada 2022, naik 122 juta orang dibanding tahun 2019. PBB mengidentifikasi konflik geopolitik, guncangan ekonomi pascapandemi, dan iklim ekstrem sebagai pemicu utama tren kelaparan ini.
Presiden Prabowo bahkan sering mengingatkan bahwa perubahan iklim dan kondisi global yang tidak stabil perlu dihadapi dengan upaya luar biasa agar ketersediaan pangan bagi ratusan juta rakyat terjaga. Artinya, diperlukan terobosan strategis untuk mengamankan ketahanan pangan kita di tengah perubahan iklim dan gejolak global.
Dilema Produksi Pangan dan Konversi Lahan
Indonesia sebenarnya sempat menikmati swasembada beras dalam beberapa tahun terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi beras tahun 2022 mencapai sekitar 31,54 juta ton (setara beras konsumsi), naik tipis 0,59% dari tahun sebelumnya.
Namun, capaian ini tidak boleh membuat kita lengah. Stok beras bisa terganggu jika kemarau panjang menurunkan panen. Belum lagi komoditas pangan lain menunjukkan celah besar antara kebutuhan dan produksi dalam negeri.
Kebutuhan jagung nasional, terutama untuk pakan ternak dan industri pangan, sekitar 14 juta ton per tahun, namun pasokan domestik belum stabil. BPS mencatat Indonesia mengimpor 1,09 juta ton jagung pada 2022, naik 9,9% dibanding 2021. Bahkan pada 2023 pemerintah terpaksa menyiapkan impor tambahan 500 ribu ton guna memenuhi stok cadangan dan keperluan peternak.
Ketergantungan serupa tampak pada kedelai. Produksi kedelai lokal hanya 241 ribu ton pada 2022, sedangkan kebutuhan nasional jauh lebih besar sehingga impor kedelai mencapai 2,32 juta ton di tahun yang sama. Selama lima tahun terakhir, sekitar 78% konsumsi kedelai Indonesia ditopang impor.
Situasi gula tak jauh berbeda. Produksi gula tebu domestik berkisar 2,3–2,4 juta ton per tahun belakangan ini, jauh di bawah kebutuhan nasional sekitar 7 juta ton. Akibatnya, impor gula Indonesia menembus rekor 6 juta ton pada 2022 untuk menutup defisit. Contoh-contoh di atas menggambarkan bahwa kita perlu meningkatkan produksi pangan nasional secara signifikan.
Disisi lain, sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit, telah tumbuh pesat dua dekade ini. Luas perkebunan sawit Indonesia mencapai 16,83 juta hektare dengan produksi sekitar 45 juta ton CPO. Nilai ekspor sawit dan produk turunannya menyumbang devisa besar serta menyerap 16,2 juta tenaga kerja (4,2 juta langsung, 12 juta tak langsung).
Angka ini menunjukkan betapa pentingnya komoditas sawit bagi ekonomi kita. Namun ekspansi perkebunan yang masif sering kali menekan penggunaan lahan pertanian pangan dan hutan. Dengan kata lain, ada dilema antara kebutuhan lahan untuk perkebunan ekspor, ekonomi nasional dan lahan untuk tanaman pangan.
Integrasi Perkebunan dan Pangan sebagai Solusi Strategis
Salah satu terobosan yang muncul adalah integrasi perkebunan dengan tanaman pangan. Intinya, lahan perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kelapa, kopi, kakao, atau tebu tidak dibiarkan monokultur semata, dan di sela-selanya dapat ditanam tanaman pangan atau hortikultura.
Pendekatan ini sebenarnya bukan hal baru bagi petani tradisional. Di banyak desa, pekebun kelapa atau kakao kerap menanam padi ladang, jagung, umbi, atau sayuran di bawah tegakan pohon untuk memaksimalkan pemanfaatan lahan.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian mulai gencar mendorong program integrasi semacam ini. Direktort Jenderal Perkebunan, telah menjalankan program integrasi tanaman perkebunan dengan tanaman pangan.
Program “Kelapa Sawit Tumpang Sari Tanaman Pangan (KESATRIA)” diluncurkan untuk mengoptimalkan lahan sawit, terutama yang sedang peremajaan, dengan tanaman seperti jagung. Luas perkebunan kelapa sawit dapat dimanfaatkan secara integratif melalui optimalisasi lahan dengan tanaman pangan seperti jagung atau tanaman musiman lainnya.
Integrasi sawit-jagung hanya salah satu contoh. Semua komoditas perkebunan memiliki potensi tumpang sari. Pada perkebunan kelapa di pesisir, misalnya, petani bisa menanam palawija seperti jagung, kacang hijau, atau ubi di sela pohon kelapa yang tinggi.
Demikian pula lahan kakao atau kopi yang biasanya teduh dapat dipadukan dengan tanaman pangan tahan naungan atau hortikultura bernilai ekonomi (contoh: pisang, talas, sayuran) sebagai tanaman sela.
Tebu, yang merupakan tanaman perkebunan strategis untuk gula, dapat diintegrasikan dalam pola rotasi dengan kedelai atau kacang-kacangan untuk memperbaiki kesuburan tanah. Menurut FAO, praktik integrasi pepohonan dengan tanaman pangan atau ternak terbukti meningkatkan ketahanan pangan petani, memperbaiki kesehatan tanah dan air, serta berkontribusi pada mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Bahkan secara global diperkirakan 43% lahan pertanian dunia mmenerapkan pertanian agroforestri, dan melibatkan sekitar 900 juta penduduk rural. Artinya, integrasi tanaman sebenarnya sudah banyak diterapkan dan diakui manfaatnya di berbagai belahan dunia.
Di Kecamatan Pangkalan Lada, Kotawaringin Barat (Kalimantan Tengah), sekelompok petani sawit yang meremajakan kebunnya mencoba menanam jagung dan sayuran di lahan 49 hektare milik BUMDes. Hasilnya sangat menjanjikan. Panen pertama tumpang sari sawit tersebut menghasilkan jagung 4,2 ton per hektare, cabai rawit 0,75 ton/ha, pare 25 ton/ha, dan semangka 11 ton/ha.
Pendapatan tambahan bagi petani pun mencapai sekitar Rp 8 juta per hektare dari penjualan hasil panen tanaman sela tersebut. Kisah sukses di Kalimantan Tengahini selaras dengan konsep pertanian regeneratif, dan diversifikasi tanaman terbukti membuat ekosistem lahan lebih seimbang dan produktif.
Sinergi Multisektor
Integrasi perkebunan dengan tanaman pangan jelas merupakan solusi strategis jangka panjang untuk Indonesia. Bagi para petani dan pekebun, mindset perlu berubah dari monokultur ke polikultur. Petani kecil di perkebunan sawit atau kakao harus didorong dan difasilitasi untuk menanam tanaman pangan pendamping.
Pemerintah dapat membantu dengan menyediakan benih unggul, pupuk, dan pendampingan teknis. Pakar dan Penyuluh pertanian dapat mengedukasi teknik tumpang sari yang tepat, misalnya jarak tanam, varietas yang kompatibel, hingga pengendalian hama terpadu dalam sistem multikultur.
Tantangan seperti kebutuhan pupuk yang lebih tinggi atau risiko persaingan hara bisa diatasi dengan manajemen yang baik. Sektor swasta juga sebaiknya dilibatkan. Perusahaan perkebunan, misalnya, dapat menjalin kemitraan dengan petani plasma untuk menanam jagung atau kedelai di areal muda. Ini bisa menjadi bagian dari program tanggung jawab sosial perusahaan sekaligus membantu pemerintah memenuhi target produksi pangan.
Diversifikasi lahan perkebunan dengan tanaman pangan merupakan solusi win-win bagi Indonesia agar produksi pangan naik, impor berkurang, petani sejahtera, dan ekonomi nasional tetap terselamatkan.
FAO juga terus menekankan perlunya transformasi sistem agrifood menjadi lebih adaptif dan tangguh menghadapi perubahan iklim, dan integrasi komoditas perkebunan-pangan inilah salah satu wujud nyatanya di Indonesia.